Hukum Perburuhan
Buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Hukum Perburuhan adalah suatu instrument hukum yang melindungi pemberi kerja dan penerima kerja.
No. 12 Th. 1964 tentang PHK
PHK hanya dapat dilakukan bila kaidah-kaidah yang terdapat dalam undang-undang dilanggar.
Undang-undang ini membahas tentang PHK, yang dilakukan oleh pengusaha agar pengusaha tidak memeberhentikan pekerja secara sepihak dengan alasan-alasan yang tidak sewajarnya.
Di dalam UU ini terdapat hal-hal yang tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk pemutusan hubungan kerja, pegawai-pegawai yang berhak mendapatkan PHK, pengajuan surat PHK oleh pengusaha kepada Panitia Daerah, pesangon dan tunjangan.
Malang benar nasib Nurely Yudha Sinaningrum. Perempuan yang menjadi staf ahli anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ini harus kehilangan pekerjaannya. Itet Tridjajati Sumarijanto, Anggota DPR dari PDIP, baru saja memutuskan hubungan kerjanya selama ini. Ironisnya, PHK dilakukan saat Naning –sapaan akrab Nurely- tengah hamil tua.
“Niatan untuk mem-PHK aku, sudah dia sampaikan sekitar bulan April (usia kandungan 4 bulan). Alasan beliau, kalau melahirkan nanti aku akan sibuk mengurusi bayi. Baginya, itu kerugian karena aku dianggapnya tidak akan mampu bekerja secara penuh,” jelas Naning dalam siaran pers pada, Rabu (17/8) lalu.
Pada 3 Agustus 2011, niat itu benar-benar dilaksanakan. Naning menilai PHK yang dilakukan oleh Itet ini merupakan wujud dari tindakan diskriminasi terhadap pekerja perempuan. Sebagai anggota DPR (mantan Anggota Komisi IX yang membidangi masalah ketenagakerjaan) seharusnya Itet dapat berperilaku adil terhadap pekerja perempuan.
“Ibu Itet lebih memilih mem-PHK pekerja perempuan yang hamil dan menggantinya dengan pekerja laki-laki,” tuturnya.
Padahal, lanjutnya, UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjamin hak pekerja perempuan ketika dalam keadaan hamil. Pasal 153 ayat (1) huruf e menyatakan ‘Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan: pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya’.
Naning juga menuturkan alasan lain Itet memecat dirinya karena berpegang pada ketentuan Setjen DPR RI bahwa staf ahli setiap saat bersedia di-PHK bila anggota dewan menghendaki. Ia menilai peraturan ini jelas-jelas melanggar aturan UU Ketenagakerjaan. Ia berharap ke depan UU Ketenagakerjaan bisa ditegakan di Gedung DPR.
“Saya memperjuangkan agar aturan Setjen DPR RI berkaitan dengan pekerja (asisten pribadi, tenaga ahli) lebih menghormati UU dan peraturan yang berlaku di RI. Peraturan Setjen DPR RI tidak mencantumkan hak normatif pekerja karena tidak memuat ketentuan THR, PHK, jam kerja, lembur, cuti, libur, pesangon, jaminan sosial,” sebutnya.
Sementara, Itet mengaku sebelum mem-PHK Naning lebih dahulu berkonsultasi kepada Setjen DPR. “Pada 3 Agustus, Staf saya melakukan konsultasi ke Biro Hukum DPR RI ditemui oleh Bapak Jhonson Rajagukguk. Menurut beliau aturan yang disampaikan sesuai UU Tenaga Kerja tidak bisa disamakan kedudukannya dengan kondisi di Gedung Dewan,” jelasnya.
“Saya sebetulnya juga sudah menyiapkan dana sebesar 10 juta sebagai bentuk kemanusiaan,” sebutnya.
Itet juga menjelaskan sejak awal sebenarnya Naning tidak memenuhi syarat umum untuk menjadi Staf Ahli Anggota DPR. Ia menjelaskan Naning hanya memiliki IPK 2,5 sehingga tidak langsung diterima sebagai staf Itet, walau akhirnya ia mengangkat Naning juga sebagai stafnya.
(www.hukumonline.com)
KOMENTAR :
PHK (pemutusan hubungan kerja) hanya dapat dilakukan pada pekerja yang melanggar kaedah-kaedah yang telah diatur didalam undang-undang tenaga kerja.
Pekerja wanita oleh Undang-undang telah diberikan perlindungan sejak tahun 1948 yaitu dalam pasal 7,8, dan 9 UU No. 12 tahun 1948. Mengenai pekerja wanita yang hamil oleh UU Nomor 12 tahun 1948 pada pasal 13 ayat (2) dikatakan bahwa “(2) Buruh Wanita harus diberi istirahat selama satu setengah bulan sebelum saatnya ia menurut perhitungan akan melahirkan anak dan satu setengah bulan sesudah melahirkan anak atau gugur-kandung”, sehinnga hamil bukan alas an yang tepat untuk melakukan PHK terhadap pekerja wanita.
Memang dalam UU No 12 Tahun 1964 Tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta mengenai alasan-alasan yang oleh perusahaan dilarang untuk mem-PHK pekerjanya belum dijelaskan secara terperindi, namun dalam UU No. 13 Tahun 2003 Tentang ketenagakerjaan dalam pasal 153 dalam BAB XII mengenai pemutusan hubungan kerja, salah satu alasan yang tidak dapat digunakan oleh pemberi Kerja dalam mem-phk pekerjanya adalah pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya ( pasal 153 ayat (1) huruf e)
Dalam kasus diatas Ibu Itet yang merupakan mantan Anggota Komisi IX yang membidangi masalah ketenagakerjaan seharusnya mengerti betul mengenai UU ketenagakerjaan, bukannya mem-PHK Naning dengan alasan bahwa Naning tengah hamil tua yang jelas-jelas aturanya telah diatur dalam undang-undang. Apabila dengan dalil bahwa ipk yang diperoleh Naning tidak cukup unuk menjadi staf ahli DPR, seharusnya sejak awal Naning tidak diterima sebagai staf Itet.