Powered By Blogger

Sabtu, 26 November 2011

UU Perburuhan Hukum Perburuhan No.12 Th 1948

Hukum Perburuhan

No.12 Th 1948 Tentang Kriteria Status dan Perlindungan Buruh

Undang-undang ini menjelaskan tentang aturan-aturan terhadap pekerja buruh dalam hal persyaratan untuk menjadi seorang buruh, pengaturan jam kerja dan jam istirahat, pemberian upah, perlindungan terhadap buruh perempuan, tempat kerja dan perumahan buruh, tanggung jawab, pengusutan pelanggaran, dan aturan tambahan.

Undang-undang ini berfungsi untuk melindungi buruh dari hal-hal yang tidak diharapkan.

Contoh Kasus :

Sungguh tak enak menjadi pekerja outsourcing. Mereka harus menggantungkan hidup dari kemurahan perusahaan pengguna jasa tenaga kerja (user). Penderitaan buruh outsourcing makin lengkap ketika hubungan kerjanya dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja (agen) hanya terikat dalam perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).

Kondisi itu juga yang dialami Ali, pria paruh baya yang lebih dari 15 tahun menjadi buruh outsourcing. Di tengah isu kenaikan harga BBM -yang biasanya berujung pada kenaikan harga bahan pokok- Ali malah menganggur. PT Bank Mandiri Tbk, user yang mempekerjakan Ali sebagai sopir, memutuskan tidak lagi memakai jasanya. Sialnya lagi, PT Puriasri Bhaktikarya (Puriasri) selaku agen ternyata ikut-ikutan memutus hubungan kerja dengan Ali.

Penderitaan Ali kian bertambah tatkala Bank Mandiri maupun Puriasri sama sekali tidak memberi uang pesangon atau uang penghargaan lainnya. Sepeser pun saya tidak pernah menerima duit dari mereka (Puriasri atau Bank Mandiri-red), ujar Ali lirih. Kini, Ali dibantu Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), sedang berjuang merebut haknya di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta.

Kepada hukumonline, Ali menceritakan hubungan kerjanya dengan Puriasri dimulai sejak 1992. Ia pun langsung ditempatkan di Bank Expor Impor Indonesia, salah satu bank pemerintah yang ikut merger membentuk Bank Mandiri pada bulan Juli 1999. Awalnya tidak ada perjanjian kerja tertulis apapun antara Ali dengan Puriasri. Tanpa sepengetahuannya, pada tahun 1996, Puriasri mengeluarkan PKWT yang berlaku selama tiga bulan.

Setelah itu, Ali ibarat panen PKWT. Pak Ali selalu diperpanjang berulang-ulang PKWT-nya dan tetap bekerja di Bank Mandiri, timpal Timbul Siregar, kuasa hukum Ali. Total PKWT yang ditandatangani Ali mencapai sembilan buah. Masih saya simpan nih, kata Ali sembari memperlihatkan PKWT dimaksud kepada hukumonline.

Bagi Timbul, praktik kerja yang dilakukan Puriasri sudah menyalahi aturan. Alasannya, kontrak kerja yang sudah berkali-kali dan melebihi waktu tiga tahun, secara hukum akan berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Artinya, Ali seharusnya sudah menjadi pegawai tetap Puriasri. Dengan demikian, Puriasri tidak bisa memutus hubungan kerja Ali secara semena-mena. Butuh penetapan PHI terlebih dulu dan kalau memang diputus demikian, ia berhak atas pesangon dan lain-lain, tegas Wakil Presiden OPSI itu. Fakta berbicara lain. Ali ternyata tidak memperoleh apapun.

Masalah Ali tidak berhenti disitu. Selama di Bank Mandiri, ia mengaku sering dipekerjakan dalam waktu lembur. Upah lembur selalu dibayarkan langsung oleh bank plat merah tersebut ke rekening pribadinya. Kalau upah bulanan saya dapat dari Puriasri, jelasnya. Pada saat terakhir bekerja, ia mengaku menerima upah lembur sebesar Rp9.000 tiap jamnya.

Jika mengacu pada Keputusan Menakertrans No 102/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur, maka rumusnya upah lembur perjamnya dihitung dari gaji perbulan dibagi dengan 173. Setelah dihitung-hitung, seharusnya upah lembur Pak Ali ini sekitar Rp12.139, terang Timbul.

Merasa hak-haknya dikangkangi, Ali tidak tinggal diam. Ia lantas menempuh jalur penyelesaian hubungan industrial. Mediator Disnakertrans DKI Jakarta memenangkannya. Puriasri dihukum untuk mempekerjakan Ali pada jabatan dan posisi semula. Selain itu, Puriasri juga dianjurkan untuk membayar upah selama proses penyelesaian perselisihan. Namun karena Puriasri tidak menghiraukan anjuran Disnakertrans, Ali melanjutkan perselisihan ke PHI.

Dalam gugatannya, Ali menuntut Puriasri (Tergugat I) untuk dipekerjakan kembali. Sedangkan Bank Mandiri (Tergugat II) dituntut untuk membayar kekurangan upah lembur selama dua tahun sebesar Rp8,4 juta.

Langgar PKWT

Persidangan perkara Ali sudah memasuki tahap jawab-jinawab. Semua dalil Ali dibantah Puriasri. Misalnya, mengenai PKWT yang berulang-ulang. Puriasri berdalih kontrak kerja antara Ali dan Puriasri berjalan insidentil dan terputus-putus, sesuai kemampuan Puriasri memenangkan tender pengadaan jasa di Bank Mandiri.

Agen penyalur tenaga kerja itu juga berdalih PKWT yang dibuatnya tidak menyalahi aturan. Menurut penghitungan Puriasri, sejak 1996 sampai akhir 2007, masa efektif kerja Ali hanya sekitar 18 bulan. Atau masih lebih sedikit dari yang ditetapkan UU No 13/2003 (Ketenagakerjaan), yaitu dua tahun. Dari hal kinerja, Puriasri juga ingin menunjukan kesalahan Ali, seperti menyalahkan Ali ketika ia menghantamkan kendaraan ke trotoar.

Khusus mengenai PKWT berulang-ulang, Reytman Aruan, Kasubag Hukum dan Organisasi Ditjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jamsostek Depnakertrans, angkat bicara. Kepada hukumonline, ia menegaskan UU Ketenagakerjaan sudah jelas mengatur hal tersebut. Kalau sudah bertahun-tahun dan berulang-ulang, demi hukum, ia akan berubah menjadi PKWTT, ungkapnya.

Secara tidak langsung Reytman ingin menyatakan bahwa Puriasri telah salah kaprah dalam menghitung masa kerja Ali. Undang-undang menyebutkan PKWT dapat dilakukan untuk maksimal dua tahun dan dapat diperpanjang untuk maksimal satu tahun. Ingat! kata-kata kuncinya yaitu, maksimal. Kalaupun PKWT dilakukan untuk tiga bulan, tiga minggu, tiga hari, tetap saja namanya PKWT dan sudah harus dihitung itu, Reytman menguraikan.

Bank Mandiri juga tidak mau kalah beradu argumen. Bank Mandiri seolah tidak mau tahu apa yang terjadi dengan Ali. Alasannya, Ali hanya memiliki hubungan kerja dengan Puriasri, bukan dengan Bank Mandiri.

Untuk menguatkan dalilnya, Bank Mandiri mengutip Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerja, upah dan perintah. Dalam kasus ini, perjanjian kerja hanya terjadi antara Ali dengan Puriasri. Makanya, Bank Mandiri menolak untuk membayar kekurangan upah lembur Ali.

Mengenai hubungan kerja ini, pakar Hukum Perburuhan Universitas Indonesia, Prof. Aloysius Uwiyono pernah berpendapat, hubungan kerja dalam outsourcing secara otomatis berpindah dari agen ke user. Hal itu karena unsur perintah dan pekerjaan berasal dari user. Sementara unsur upah, meski yang membayarkan kepada buruh adalah agen, tapi uangnya berasal dari user.

Komentar :

Outsourcing adalah penyerahan sebagaian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain diklaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. Kerugian dari pekerjaan outsourcing adalah pekerja bekerja di bawah perintah perusahaan yang melakukan perjanjian dengan perusahaan tempat mereka bekerja, sehingga pekerja outsourcing merasa dirugikan dalam financial upah, jam kerja, dan tidak ada kenaikan tingkat dalam jenjang karir.

UU Perburuhan No.12 Th 1964 tentang PHK

Hukum Perburuhan

Buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Hukum Perburuhan adalah suatu instrument hukum yang melindungi pemberi kerja dan penerima kerja.

No. 12 Th. 1964 tentang PHK
PHK hanya dapat dilakukan bila kaidah-kaidah yang terdapat dalam undang-undang dilanggar.
Undang-undang ini membahas tentang PHK, yang dilakukan oleh pengusaha agar pengusaha tidak memeberhentikan pekerja secara sepihak dengan alasan-alasan yang tidak sewajarnya.
Di dalam UU ini terdapat hal-hal yang tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk pemutusan hubungan kerja, pegawai-pegawai yang berhak mendapatkan PHK, pengajuan surat PHK oleh pengusaha kepada Panitia Daerah, pesangon dan tunjangan.

Malang benar nasib Nurely Yudha Sinaningrum. Perempuan yang menjadi staf ahli anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ini harus kehilangan pekerjaannya. Itet Tridjajati Sumarijanto, Anggota DPR dari PDIP, baru saja memutuskan hubungan kerjanya selama ini. Ironisnya, PHK dilakukan saat Naning –sapaan akrab Nurely- tengah hamil tua.

“Niatan untuk mem-PHK aku, sudah dia sampaikan sekitar bulan April (usia kandungan 4 bulan). Alasan beliau, kalau melahirkan nanti aku akan sibuk mengurusi bayi. Baginya, itu kerugian karena aku dianggapnya tidak akan mampu bekerja secara penuh,” jelas Naning dalam siaran pers pada, Rabu (17/8) lalu.

Pada 3 Agustus 2011, niat itu benar-benar dilaksanakan. Naning menilai PHK yang dilakukan oleh Itet ini merupakan wujud dari tindakan diskriminasi terhadap pekerja perempuan. Sebagai anggota DPR (mantan Anggota Komisi IX yang membidangi masalah ketenagakerjaan) seharusnya Itet dapat berperilaku adil terhadap pekerja perempuan.

“Ibu Itet lebih memilih mem-PHK pekerja perempuan yang hamil dan menggantinya dengan pekerja laki-laki,” tuturnya.

Padahal, lanjutnya, UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjamin hak pekerja perempuan ketika dalam keadaan hamil. Pasal 153 ayat (1) huruf e menyatakan ‘Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan: pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya’.

Naning juga menuturkan alasan lain Itet memecat dirinya karena berpegang pada ketentuan Setjen DPR RI bahwa staf ahli setiap saat bersedia di-PHK bila anggota dewan menghendaki. Ia menilai peraturan ini jelas-jelas melanggar aturan UU Ketenagakerjaan. Ia berharap ke depan UU Ketenagakerjaan bisa ditegakan di Gedung DPR.

“Saya memperjuangkan agar aturan Setjen DPR RI berkaitan dengan pekerja (asisten pribadi, tenaga ahli) lebih menghormati UU dan peraturan yang berlaku di RI. Peraturan Setjen DPR RI tidak mencantumkan hak normatif pekerja karena tidak memuat ketentuan THR, PHK, jam kerja, lembur, cuti, libur, pesangon, jaminan sosial,” sebutnya.

Sementara, Itet mengaku sebelum mem-PHK Naning lebih dahulu berkonsultasi kepada Setjen DPR. “Pada 3 Agustus, Staf saya melakukan konsultasi ke Biro Hukum DPR RI ditemui oleh Bapak Jhonson Rajagukguk. Menurut beliau aturan yang disampaikan sesuai UU Tenaga Kerja tidak bisa disamakan kedudukannya dengan kondisi di Gedung Dewan,” jelasnya.

“Saya sebetulnya juga sudah menyiapkan dana sebesar 10 juta sebagai bentuk kemanusiaan,” sebutnya.

Itet juga menjelaskan sejak awal sebenarnya Naning tidak memenuhi syarat umum untuk menjadi Staf Ahli Anggota DPR. Ia menjelaskan Naning hanya memiliki IPK 2,5 sehingga tidak langsung diterima sebagai staf Itet, walau akhirnya ia mengangkat Naning juga sebagai stafnya.

(www.hukumonline.com)

KOMENTAR :

PHK (pemutusan hubungan kerja) hanya dapat dilakukan pada pekerja yang melanggar kaedah-kaedah yang telah diatur didalam undang-undang tenaga kerja.

Pekerja wanita oleh Undang-undang telah diberikan perlindungan sejak tahun 1948 yaitu dalam pasal 7,8, dan 9 UU No. 12 tahun 1948. Mengenai pekerja wanita yang hamil oleh UU Nomor 12 tahun 1948 pada pasal 13 ayat (2) dikatakan bahwa “(2) Buruh Wanita harus diberi istirahat selama satu setengah bulan sebelum saatnya ia menurut perhitungan akan melahirkan anak dan satu setengah bulan sesudah melahirkan anak atau gugur-kandung”, sehinnga hamil bukan alas an yang tepat untuk melakukan PHK terhadap pekerja wanita.

Memang dalam UU No 12 Tahun 1964 Tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta mengenai alasan-alasan yang oleh perusahaan dilarang untuk mem-PHK pekerjanya belum dijelaskan secara terperindi, namun dalam UU No. 13 Tahun 2003 Tentang ketenagakerjaan dalam pasal 153 dalam BAB XII mengenai pemutusan hubungan kerja, salah satu alasan yang tidak dapat digunakan oleh pemberi Kerja dalam mem-phk pekerjanya adalah pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya ( pasal 153 ayat (1) huruf e)

Dalam kasus diatas Ibu Itet yang merupakan mantan Anggota Komisi IX yang membidangi masalah ketenagakerjaan seharusnya mengerti betul mengenai UU ketenagakerjaan, bukannya mem-PHK Naning dengan alasan bahwa Naning tengah hamil tua yang jelas-jelas aturanya telah diatur dalam undang-undang. Apabila dengan dalil bahwa ipk yang diperoleh Naning tidak cukup unuk menjadi staf ahli DPR, seharusnya sejak awal Naning tidak diterima sebagai staf Itet.

Hukum Perikatan - Perjanjian

PENGERTIAN

Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu mempunyai hak untuk menuntut kewajiban dari pihak kedua.

Sumber-sumber perikatan adalah :

1. Undang-undang

2. Perjanjian

a. Perbuatan menurut hukum

Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.

b. Perbuatan melawan hukum

Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.

Subjek hukum

Pihak-pihak yang terlibat dalam hukum perikatan diantaranya, kreditur yang mempunyai kedudukan sebagai pemegang hak dan debitur yang mempunyai keduduakan sebagai pemegang kewajiban atas prestasi. Kreditur dan debitur mempunyai hubungan timbal balik. Kreditur biasanya disebut sebagai pihak yang aktif sedangkan debitur biasanya pihak yang pasif.

Di dalam BW (Burgerlijk Wetboek) Hapusnya perikatan dapat disebabkan karena :

1. Pembayaran

Contoh : Ketika Debitor telah melakukan pembayaran kepada Kreditor, maka perikatan telah berakhir.

2. Penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan

Contoh: Kreditor dapat mengajukan penawaran kepada debitor untuk menitipkan barang kepada pengadilan ketika debitor menolak untuk melakukan pembayaran.

3. Pembaharuan hutang

Contoh: Debitor dapat melakukan pinjaman kepada kreditor lainnya, untuk melakukan pembayaran kepada kreditor yang pertama.

4. Perjumpaan hutang atau kompensasi

Contoh: Dua pihak yang masing-masing memiliki hutang satu dengan yang lain.

5. Percampuran hutang

Contoh: Dua atau lebih orang yang mempunyai hutang secara tanggung menanggung melakukan pembayaran.

6. Pembebasan hutang

Contoh: Kreditor membebaskan debitor dari hutang.

7. Musnahnya barang yang terhutang

Contoh: Apabila barang yang diperjanjikan musnah, maka perikatan berakhir.

8. Kebatalan atau pembatalan

Contoh: Perikatan berakhir karena tidak terpenuhinya salah satu syarat sahnya perjanjian.

9. Berlakunya suatu syarat batal

10. Karna lewat waktu / Kadaluarsa

PERJANJIAN

Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum antar dua atau lebih pihak yang saling mengikat dirinya dengan suatu kesepakatan yang dibuat dalam suatu perikatan.

Syarat perjanjian :

1. Sepakat

Ketika 2 pihak telah mencapai kata sepakat maka kedua belah pihak secara otomatis telah mengikat dirinya dalam suatu perjanjian

2. Cakap

Ketika seseorang sudah mencapai umur 21 tahun, maka dia dapat melakukan perbuatan hukum dalam melakukan suatu perjanjian. Orang-orang yang tidak cakap untuk melakukan suatu perjanjian diantaranya :

a. Orang-orang yang belum dewasa

b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan (orang gila, orang dengan cacat mental)

3. Suatu hal tertentu

Dalam membuat perjanjian, objek-objek yang ada dalam perjanjian tersebut haruslah jelas.

4. Sebab yang halal

Dalam suatu perjanjian jika poin Sepakat dan atau Cakap dilanggar, maka perjanjian dapat dimintakan pembatalan. Dan jika poin Suatu Hal Tertentu dan atau Sebab yang Halal dilanggar, maka perjanjian batal demi hukum.

ASAS-ASAS PERJANJIAN

Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, S.H. di dalam hukum perjanjian terdapat sepuluh asas yaitu :
1). Asas kebebasan mengadakan perjanjian (kebebasan berkontrak).

Menurut asas ini para pihak bebas untuk mengadakan perjanjian yang dikehendakinya, tidak terikat pada bentuk tertentu. Tetapi kebebasan itu ada pembatasannya :

(1) perjanjian yang dibuat meskipun bebas tetapi tidak dilarang undang-undang,

(2) tidak bertentangan dengan undang- undang,

(3) tidak bertentangan dengan ketertiban umum.


2). Asas konsensualime.

perjanjian itu telah dapat dikatakan selesai dengan adanya kata sepakat atau persesuaian kehendak dari para pihak yang mengadakan perjanjian.


3). Asas kepercayaan.


4). Asas kekuatan mengikat.

setiap perjanjian yang dibuat oleh pihak- pihak berlakunya akan mengikat dan tidak dapat ditarik kembali secara sepihak. Artinya perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak.


5). Asas persamaan hukum.
6). Asas keseimbangan.
7). Asas kepastian hukum.
8). Asas moral.
9). Asas kepatutan.
10). Asas kebiasaan

Senin, 14 November 2011

Undang- Undang No.4 Th 1992 tentang Pemukiman

beberapa ringkasan mengenai dan dari UU tersebut

Isi : Pemukiman

· Pengertian Pemukiman : bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan


Satuan lingkungan permukiman: adalah kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang, prasarana dan sarana lingkungan yang terstruktur

· Prasarana lingkungan: adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan yang memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya

· Sarana lingkungan: adalah fasilitas penunjang, yang berfungsi untuk penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan ekonomi, social dan budaya.

· Utilitas umum: adalah sarana penunjang untuk pelayanan lingkungan

· Kawasan siap bangun: adalah sebidang tanah yang fisiknya telah dipersiapkan untuk pembangunan perumahan dan permukiman skala besar yang terbagi dalam satu lingkungan siap bangun lebih yang pelaksanaannya dilakukan secara bertahap dengan lebih dahulu dilengkapi dengan jaringan primer dan sekunder prasarana lingkungan sesuai dengan rencana tata ruang lingkungan yang ditetapkan oleh Pemerintah.

· Lingkungan siap bangun: adalah sebidang tanah yang merupakan bagian dari kawasan siap bangun ataupun berdiri sendiri yang telah dipersiapkan dan dilengkapi dengan prasarana lingkungan dan selain itu juga sesuai dengan persyaratan pembakuan tata lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan pelayanan lingkungan untuk membangun kaveling tanah matang.

· Kaveling tanah matang: adalah sebidang tanah yang telah dipersiapkan sesuai dengan persyaratan pembakuan dalam penggunaan, penguasaan, pemilikan tanah dan rencana tata ruang lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian untuk membangun bangunan.

· Konsolidasi tanah permukiman: adalah upaya penataan kembali penguasaan, penggunaan, dan pemilikan tanah oleh masyarakat pemilik tanah melalui usaha bersama untuk membangun lingkungan siap bangun dan menyediakan kaveling tanah matang sesuai dengan rencana tata ruang yang ditetapkan Pemerintah.

Tujuan :

a. memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, dalam rangka

peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat ;

b. mewujudkan perumahan dan permukiman yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi,

dan teratur ;

c. memberikan arah pada pertumbuhan wilayah dan persebaran penduduk yang rasional ;

d. menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan bidang-bidang lainnya.

  • Cakupan isi UU :
    Penataan dan pengelolaan perumahan dan pemukiman di daerah perkotaan dan pedesaan, secara terpadu yang mencakup pembangunan baru, pemugaran, perbaikan, peremajaan, perluasan, pemeliharaan, dan pemanfaatannya.

Keadaan di Masyarakat

Walaupun sudah terbentuk UU mengenai pemukiman di atas, tetapi tetap saja hal-hal seperti pemukiman kumuh, kepadatan penduduk, masalah kepemilikan lahan dan bangunan, sengketa tanah dan bangunan, penyalahgunaan fungsi bangunan masih sering ditemui di masyarakat terutama di kota besar seperti Jakarta.
pemerintah dianggap kurang tegas dalam menjalankan UU tersebut, tetapi kita tidak dapat menyalahkan masyarakat sseutuhnya karena pemerintah juga kurang dalam mensosialisasikan UU mengenai pemukiman tersebut. Banyaknya orang-orang yang berurbanisasi ke kota-kota besar memaksa pemerintah untuk menyediakan lebih banyak lahan pemukiman bagi masyarakat.

Banyak yang masalah terjadi akibat ketidak disiplinan pemilik tanah dalam menjaga atau pun memberi batasan pada lahan mereka. Saat kaum pendatang menginjakkan kaki di kota besar mereka sering menggunakan lahan kosong untuk bermukim walaupun lahan tersebut sudah ada pemiliknya. Setelah bertahun-tahun mereka menetap sang pemilik tanah mulai mempermasalahkan keberadaan para kaum pendatang yang ada di tanahnya. Ketika sang pemilik tanah mengusir para pendatang maka akan tercipta pertentangan karena kaum pendatang menganggap jika tanah tersebut adalah milik mereka dan bahkan dapat memicu pertikaian dan tindakan kriminal lainnya.
Akibat kurangnya lahan pemukiman pun daerah-daerah yang masuk ke dalam garis sempadan jalan maupun sungai dibuat menjadi bangunan dan saat musim hujan tiba maka banjir pun tidak dapat dihindari.

Ada pula cerita akibat orang yang tidak ingin membayar pajak mahal untuk bangunan perkantoran di tempat yang sudah disediakan, orang tersebut menyalahgunakan bangunan yang seharusnya sebagai pemukiman sebagai perkantoran atau pun tempat komersil. Kembali lagi kepada petugas pemerintahan. Sebagian ada yang menerima suap sehingga hal itu tidak diberi tindakan yang tegas, namun ada pula beberapa kasus dimana bangunan tersebut dibongkar.

Sudah seharusnya pemerintah mensosialisasikan mengenai UU ini kepada seluruh masyarakat agar keadaan yang terpadu seperti yang menjadi tujuan dari UU dapat terwujud.

sumber : UU No.4 th 1992 tentang pemukiman