Indonesia adalah Negara yang kaya akan keanekaragaman suku bangsa, dimana tiap-tiap suku bangsa tersebut memiliki adat-istiadat yang berbeda-beda. Hal itu dapat dijadikan sebagai cirri khas (jati diri) maupun keunikan (kekayaan) dari negeri kita, dan sebagai generasi penerus bangsa, sudah sewajibnya kita untuk melestarikan kebudayaan peninggalan nenek moyang tersebut. Namun, dibalik itu tidak semua kebudayaan yang ada itu sesuai dengan konstitusi Negara kita yaitu UUD ’45 dan Pancasila maupun dengan pola pikir manusia yang mulai berkembang dan menjujung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM).
Untuk memperjelas ketidakseimbangan yang terjadi antara kebudayaan dengan HAM yang terkandung pada UUD 45 & Pancasila akan saya gambarkan melalui beberapa cerita dibawahini :
Dr. Muchtar adalah seorang dokter dari keturunan minangkabau tetapi beliau bekerja pada perusahaan minyak di daerah Aceh, Ia memiliki uang yang tersimpan pada perusahaan dimana Ia bekerja itu. Dalam perjalanannya kembali ke kampong halaman, Ia meninggal dunia. Masalah mulai timbul ketika keluarga dari keluarga ibu menggugat warisan yang ada. Menurut hukum adat yang berlaku di sana, jika seorang pria meninggal maka yang berhak mendapat warisan adalah anggota keluarga wanita sederajat kesamping atau satu tingkat kebawah, (bisa saudara perempuan maupun keponakan perempuan) sedangkan anak maupun istri beliau tidak mendapatkan bagian. Padahal beliau sudah membuat sebuah surat wasiat yang menyebutkan harta peninggalannya akan diberikan kepada istri dan anak-anaknya. Akhirnya setelah melalui jalur hukum, maka pihak istri dan anak-anak keluarga Dr.Muchtar memenangkan kasus tersebut.
Sebenarnya masih banyak kasus-kasus lain yang berhubungan dengan perebutan hak waris, dimana ada perbedaan antara adat istiadat suatu daerah dengan pola pikir manusia modern saat ini. Pada kasus di atas, pihak istri dan anak merasa dirinya yang lebih berhak mendapatkan hak atas harta yang tercantum dalam surat wasiat tersebut, terlebih lagi jika surat wasiat tersebut sah. namun keluarga dr. mochtar yang berada di minangkabau yang masih terikat dengan erat terhadap adat istiadat setempat juga akan berpendapat merekalah yg lebih berhak. Hal ini menunjukkan bahwa terkadang suatu adat istiadat dapat menjadi pertentangan jika dihubungkan dengan aturan yang berlaku lebih umum, dan bisa terjadi pelemahan dalam adat-istiadat itu sendiri.